Minggu, 30 November 2014

Kasus Ras dan Agama di Indonesia

MAKALAH ILMU SOSIAL DASAR
KASUS RAS DAN AGAMA DI INDONESIA













ABDUL HAKIM M
20414026
1IC03
UNIVERSITAS GUNDARMA









Kata Pengantar

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat serta izinnya kami telah menyelesaikan makalah ilmu sosial dasar yang berjudul “Kasus Ras dan Agama di Indonesia”.
Dalam  proses pendalaman materi ini, penulis menyatakan rasa terima kasihnya kepada Ibu Ratna Komala selaku dosen mata kuliah “Ilmu Sosial Dasar” serta teman-teman sekelas 1IC03 jurusan Teknik Mesin di Universitas Gunadarma yang telah banyak memberikan semangat serta masukannya dalam penyusunan makalah ini.

Demikian makalah ini saya buat dengan tujuan untuk memenuhi tugas mata pelajaran soft skill dan untuk menambah wawasan penulis serta pembaca sekalian.

Jakarta, 30 November 2014
Hormat kami,


(Penulis)

















KASUS RAS DAN AGAMA DI INDONESIA
Contoh kasus yang berkaitan dengan Ras dan Agama adalah kasus konflik ambon, saya akan memberikan detail kasus tersebut sebagai berikut.
Secara garis besar, konflik di Ambon dapat dibagi dalam empat babak yaitu:

Babak I: Januari-Maret 1999. Peristiwa diawali konflik antarpreman Batumerah (Muslim) dan Mardika (Kristen) pada tgl. 19 Januari 1999, dalam sekejab menimbulkan pertikaian antarkelompok agama dan sukubangsa, dan meledak menjadi kerusuhan besar di Ambon. Kerusuhan itu bahkan meluas ke seluruh Pulau Ambon. Kota dan desa-desa di Ambon bertebaran dengan puing-puing bangunan rumah ibadat, rumah tinggal dan toko yang dibakar serta diratakan dengan tanah. Kota Ambon dan sebagian desa-desa sekitarnya tersegregasi ketat dan terbagi dalam 2 wilayah: Islam dan Kristen. Pemerintah daerah, aparat keamanan, pemuka-pemuka agama dan adat kemudian sibuk melakukan upaya-upaya rekonsiliasi dengan mengadakan upacara panas pela dilakukan di sana-sini. Sejak akhir Maret sampai pertengahan Juli 1999, Ambon relatif reda dari kerusuhan besar.

Babak II: Juli-November 1999. Suasana Ambon tenang-tenang tegang bersama atraksi kampanye menjelang pemilu. Usai Pemilu, ketegangan meningkat dan tiba-tiba pecah di daerah Poka, dan meluas ke bagian lain di Ambon. Segregasi semakin ketat. Di Ambon hanya tersisa 1 desa (Wayame) yang masyarakatnya tetap berbaur. Sebutan merah diganti dengan Obet (Robert) dan putih menjadi Acang (Hasan).

Babak III: akhir Desember 1999-pertengahan Januari 2000. Memasuki bulan puasa, awal bulan Desember 1999, konflik mereda, namun setelah kunjungan Presiden dan Wakil Presiden pada akhir bulan Desember 1999 kerusuhan menguat. Selepas kunjungan Wapres berikutnya di bulan Januari 2000 terjadi lagi kerusuhan.

Babak IV: April 2000-Agustus 2000. Sejak Februari-Maret 2000, sebenarnya situasi di Ambon sudah tenang. Upaya rekonsiliasi dilakukan di beberapa tempat: di Jakarta (oleh tim rekonsiliasi pusat), di Belanda atas inisiatif dan undangan pemerintah Belanda, di Bali oleh Pemerintah Inggris lewat Perwakilan PBB, dan di atas kapal-kapal TNI-AL dalam program Surya Bhaskara Jaya (SBJ). Sehari setelah kunjungan Wakil Presiden ke Ambon dalam rangka program SBJ, diawali peristiwa makan Patita antara kelompok milisia Batumerah (Muslim) dengan Kudamati (Kristen, kerusuhan mulai merebak lagi dan menjadi berkepanjangan dengan cetusan berbagai dan di bulan Juni-Juli dengan adanya ribuan pasukan Jihad di Ambon. Sebagian desa-desa Kristen habis rata dengan tanah. Terdapat Jaringan Kerja Relawan. Relawan Muslim sangat sulit berkomunikasi dengan yang Kristen, karena takut terhadap tekanan dari jihad. Reaksi dari masyarakat Kristen lebih membutuhkan intervensi asing untuk pengamanan.

Dampak Yang Terjadi

Menurut saya dampak yang ditimbulkan dari peristiwa tersebut adalah:

  • Masyarakat belum merasa tidak aman sampai kasus ini tuntas
  • Rasa curiga antar masyarakat
  • Sulitnya terjadi kebersamaan
  • Pemerintah akan sulit bekerja karena rakyatnya terpecah-pecah
  • Negara lain akan melihat ini sebagai kegagalan negara ini dalam menangani kasus Ras dan Agama

Alternatif Penanggulangan

KEMENHAN sebagai pihak yang berwewenang ikut mengatasi masalah ini telah memberikan beberapa solusi, berikut ini penjabarannya.
Bila dicermati hingga saat ini konflik Maluku masih menyimpan “bara dalam sekam” hal ini perlu diwaspadai, walaupun situasi kehidupan masyarakat terlihat semakin kondusif. Eskalasi konflik di Maluku yang terjadi telah menimbulkan luka sosial dan luka psykologis yang dalam dan menjelma menjadi kebencian, rasa dendam, dan saling curiga ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Kejadian ini menelan ribuan korban manusia dan harta benda yang tidak sedikit, sehingga kehidupan masyarakat berjalan tidak seimbang sebagaimana mestinya dalam tatanan kehidupan sosial bermasyarakat
            Secara umum kondisi kehidupan di Maluku terlihat relatif kondusif, tetapi bila dicermati secara mendalam masih tesisa luka sosial dan luka psykologis yang diderita masyarakat. Dalam usaha mencairkan sisa luka tersebut diperlukan suatu upaya rehabilitasi melalui perlakuan yang bijak dan komprehensif, Integral serta terpadu dari masyarakat dan menuntut seluruh elemen bangsa yang ada, baik dari pihak instansi/institusi pemerintah Pusat/Daerah, swasta, Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, LSM, dan Masyarakat Maluku itu sendiri, sehingga harapan konflik di Maluku dapat selesai secara tuntas segara tewujud. Dalam memenuhi harapan tersebut perlu dilakukan upaya-upaya penanggulangan baik oleh pemerintah, aparat penegak hukum, aparat keamanan, tokoh masyarakat, tokoh agama dan masyarakat adalah sebagai berikut:
1 Pemerintah Pusat. Kebijakan Penanganan Konflik di Maluku oleh Pemerintah Pusat diharapkan melalui antara lain :
a Dalam menentukan kebijakan yang akan diambil dalam menangani konflik hendaknya melalui pendekatan Sosio-Psykology
Antropologi dan berusaha berlaku senetral dan seadil mungkin, sehingga tidak ada yang merasa dirugikan.
b. Kebijakan penyelesaian konflik yang menyangkut seluruh kehidupan masyarakat hendaknya ditangani secara tuntas, menyeluruh, terintegrasi dan terpadu dengan melibatkan seluruh instansi/institusi serta masyarakat.
c. Implementasi pananggulangan konflik hendaknya dapat dilihat secara jelas peran instansi/institusi terkait, tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh adat serta masyarakat, agar tidak terjadi kesalahan persepsi dalam penyelesaian konflik ditengah-tengah kehidupan masyarakat. 
2 Pemerintah Daerah. Kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Daerah hendaknya berpegang dan mengacu kepada kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat, sehingga implementasi kebijakan Pemerintah Daerah dalam menanggulangi konflik sudah mempunyai legal-aspect secara institusi, yang antara lain :
a. Melakukan peningkatan koordinasi antar instansi, Tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh adat dalam penanggulangan konflik yang terjadi serta berusaha memberikan kewenangan-kewenangan kepada instansi, Tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh adat terkait sesuai dengan kompetensi masing-masing untuk menanggulangi/ mengatasi konflik yang terjadi.
b. Pemerintah Daerah mengadakan berbagai pertemuan-pertemuan dalam upaya menjalin komunikasi, persaudaraan dan tali silaturahmi di antara komunitas masyarakat baik itu komunitas yang berdasarkan agama (Islam atau Kristen) maupun berdasarkan pulau (tempat tinggal).
c. Mengajak Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat ikut berperan serta dalam merumuskan kebijakan untuk menanggulangi/menangani konflik yang terjadi.
3. Aparat Penegak Hukum tidak terpancing emosi, terprovokasi ataupun larut dalam pertikaian/konflik, tidak memihak, berlaku yang adil dan memperhatikan Hak Asasi Manusia (HAM), sebagai berikut:
a Melengkapi aturan yang mampu untuk mendukung proses hukum yang adil dan netral.
b Membentuk aparat penegak hukum yang berwibawa dalam kualitas dan kuantitas yang cukup.
c Membentuk dan membangun masyarakat yang memiliki tingkat kesadaran hukum yang tinggi.
d Kasus yang terindikasi sebagai penyebab konflik hendaknya ditangani secara tuntas sampai dengan pemberian sangsi hukum yang sesuai.
 
4. Aparat Keamanan.
a. Aparat keamanan baik dari Kepolisian dan dari TNI dalam melaksanakan tugas menangani konflik hendaknya bersifat netral tanpa berpihak pada kelompok-kelompok yang bertikai, dan menerapkan aturan/prosedur penanganan yang berlaku meliputi penanganan secara preemtif, preventif, represif, sesuai skala konflik yang terjadi.
b. Melengkapi aturan yang mampu untuk mendukung keamanan dan ketertiban masyarakat.
c. Membentuk aparat keamanan yang berwibawa, berkualitas dan profesional.
 
5 Tokoh Agama. 
a. Dalam menyampaikan ajaran agama hendaknya tidak membanding-bandingkan antara agama yang dianut dengan agama yang lain, serta tidak berusaha mendiskriditkan agama lain.
b. Meningkatkan pemahaman dan penghayatan terhadap agama yang dipeluknya.
c. Berusaha untuk mengajak umatnya memahami keberadaan agama lain serta umat yang memeluknya.
d. Membangun toleransi dan kerukunan yang tinggi antar umat beragama.
 
6 Tokoh Masyarakat.
a. Mengajak masyarakat mengembangkan budaya lokal sebagai budaya nasional yang mampu mendukung dinamika pembangunan.
b. Mengembangkan budaya lokal agar berperan efektif dalam kehidupan masyarakat secara nasional.
c. Memperkenalkan budaya lokal kepada masyarakat baik masyarakat pendatang maupun masyarakat nasional serta masyarakat Internasional.
Kebijakan. 
            Bangsa Indonesia yang merupakan suatu bangsa yang besar menempatkan kesatuan dan persatuan dalam dasar negara serta menetapkannya berdasarkan undang-undang. Persatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia ditempatkan pada tempat yang sangat penting, sehingga persatuan dan kesatuan merupakan salah satu dasar serta sekaligus tolok ukur dalam upaya mempertahankan keutuhan NKRI.
            Atas dasar tersebut diatas maka rumusan kebijakan dalam penanggulangan konflik di Maluku adalah sebagai berikut : “Terwujudnya Penanggulangan Konflik Maluku melalui penerapan Aspek Sosio-psyco Antropologi, peningkatan kualitas SDM, peningkatan kesejahteraan masyarakat, peningkatan peran dan fungsi aparat pemerintahan serta peningkatan penegakkan hukum dalam rangka mempertahankan keutuhan NKRI”.
Strategi.
            Berdasarkan rumusan kebijakan tersebut diatas, maka strategi yang akan digunakan adalah sebagai berikut :
a. Melaksanakan penerapan Sosio-psyco Antropologi untuk tumbuh dan berkembangnya tata dan nilai kehidupan masyarakat Maluku melalui penelitian, pemahaman, implementasi dan sosialisasi guna mewujudkan satu kesatuan pola pikir, pola sikap dan pola tindak.
b. Melaksanakan peningkatan kualitas SDM untuk dimilikinya masyarakat yang profesional dibidangnya melalui pendidikan dan pelatihan guna mewujudkan SDM yang berdaya guna dan berhasil guna serta mampu bersaing dengan tenaga kerja lain.
c. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat untuk mewujudkan tingkat kehidupan masyarakat yang lebih baik, adil dan menyentuh seluruh lapisan masyarakat Maluku, melalui penelitian, menyiapkan SDM, menyiapkan lapangan kerja, ekonomi yang didasarkan pada ekonomi kerakyatan guna meningkatkan ekonomi masyarakat.
d. Meningkatkan peran dan fungsi aparat pemerintahan untuk dimilikinya aparat yang bersih, jujur, tidak diskriminatif melalui pembinaan personil, menata kembali peraturan perundang-undangan, reposisi, meningkatkan wawasan kebangsaan dan nasionalisme guna mewujudkan persatuan dan kesatuan serta dukungan masyarakat dalam mengakhiri konflik.
e. Menciptakan toleransi beragama yang berpegang pada konsep ketuhanan yang maha esa dengan saling menghargai keberadaan agama lain.
 
Upaya
Agar penanggulangan konflik Maluku dapat berhasil sehingga dapat menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), perlu dilakukan upaya-upaya sebagai berikut :
1. Strategi I. Melaksanakan penerapan Sosio-pysico Antropologi untuk tumbuh dan berkembangnya tata dan nilai kehidupan masyarakat Maluku melalui penelitian, pemahaman implementasi dan sosialisasi guna mewujud-kan satu kesatuan pola pikir, pola sikap dan pola tindak, dilakukan upaya sebagai berikut :
a. Pemerintah melalui pemerintah daerah dan institusi terkait lain serta Perguruan Tinggi yang ada melakukan inventarisasi dan penelitian sosial budaya, sosial ekonomi, tradisi dan adat yang ada di dalam kehidupan masyarakat sehingga diperoleh pemahaman yang lebih mendalam berkaitan dengan tata dan kehidupan masyarakat Maluku.
b. Pemerintah melalui pemerintah daerah dan institusi terkait lain serta sekolahan-sekolahan dan perguruan tinggi yang ada baik negeri maupun swasta menggali kembali, menumbuh kembangkan serta memelihara tradisi adat dan budaya daerah yang ada, baik melalui pendidikan dan latihan formal maupun non formal.
c. Pemerintah, Departemen Hukum dan HAM, Kementrian Politik Hukum dan Keamanan, Pemerintah Daerah serta institusi-institusi terkait, mengakomodir, mengatur kembali dan mensosialisasikan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tradisi, adat istiadat dan budaya masyarakat Maluku serta mengawasi implementasi lapangannya.
d. Pemerintah melalui Kementerian Politik Hukum dan Keamanan, Departemen Pertahanan, Departemen Hukum dan HAM serta institusi lain terkait dengan melibatkan masyarakat yang terlibat dalam konflik untuk bertemu, berdialog, berkoordinasi dan kerjasama mencari akar permasalahan dan menyelesaikannya dengan cara musyawarah untuk menanggulangi konflik secara komprehensif, adil tidak ada yang dirugikan dan abadi.
2. Strategi II. Melaksanakan peningkatan kualitas SDM untuk dimilikinya masyarakat yang profesional dibidangnya melalui pendidikan dan pelatihan guna mewujudkan SDM yang berdaya guna dan berhasil guna serta mampu bersaing dengan tenaga lain, dilakukan melalui upaya sebagai berikut :
a Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional, Departemen dan institusi pemerintah maupun swasta yang terkait, sekolah dan perguruan tinggi baik negeri/swasta dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, agama maupun adat menginventarisasi, memperbaiki serta membangun sarana dan prasarana pendidikan yang dibutuhkan baik formal maupun non formal.
b Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional yang berkerjasama dengan Departemen Pertahanan dan Departemen/ institusi lain yang terkait serta sekolahan-sekolahan dan Perguruan Tinggi yang ada meningkatkan jam pengajaran  Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Pertahanan, Kementerian Politik Hukum dan Keamanan, Departemen Agama serta Departemen/Institusi lain terkait dan tokoh-tokoh masyarakat serta agama melakukan pendidikan sosialisasi tentang wawasan kebangsaan dan Nasionalisme baik formal maupun non formal agar masyarakat mampu menghadapi bahkan melawan pengaruh-pengaruh maupun faham asing yang mengancam ataupun akan merusak persatuan dan kesatuan bangsa.
 
3. Strategi V. Meningkatkan penegakkan hukum untuk mewujudkan Supremasi Hukum melalui inventarisasi, Revisi, pendidikan, sosialisasi, dan implementasi guna mewujudkan tertib hukum, tidak adanya pelanggaran HAM, tindak kekerasan, pelanggaran HAM, tindakan diskriminatif serta adil dalam menyelesaikan semua masalah yang ada, khususnya konflik, dilakukan melalui upaya sebagai berikut :
a Pemerintah melalui Departemen Hukum dan HAM, Kementerian Politik Hukum dan Keamanan, Departemen Pertahanan, Departemen Dalam Negeri, Mabes TNI, POLRI serta institusi-institusi lain yang terkait menginventarisasi kembali peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keamanan, Pertahanan, Terorisme, kepemilikan senjata dan amunisi selanjutnya menyempurnakan, mengganti peraturan perundang-undangan yang untuk peraturan perundang-undangan yang belum ada. Berkaitan dengan hal ini perlu diwaspadai adanya tumpang tindih kewenangan, tugas sampai dengan bunyi pasal yang dapat menimbulkan kerancuan serta persepsi lain.
b Pemerintah dalam hal ini Departemen Pertahanan, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen dalam Negeri, Kementerian Politik Hukum dan Keamanan, Departemen Hukum dan Ham sertainstitusi lain yang terkait dan berwenang, mendidik, melatih, melakukan kursus bagi personilnya, anak didik serta masyarakat berkaitan dengan hukum dan HAM berikut tindakan ataupun sanksi hukum selanjutnya mensosialisasikan kepada seluruh masyarakat baik melalui jalan formal maupun non formal.


















Daftar Pustaka



1 komentar: